Kamis, 06 Maret 2014
Hukum Persaingan Usaha
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Arie
Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrumen
hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Menurut
Hermansyah hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur
mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal
yang boleh. Hukum persaingan usaha mulai banyak dibicarakan seiring dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini disahkan tanggal 5 Maret
1999, tetapi baru efektif berlaku satu tahun kemudian.
Judul undang-undang ini
memang cukup panjang karena berangkat dari hasil kompromi Pemerintah dan DPR
saat itu. DPR menginginkan nama “UU Antimonopoli” untuk menunjukkan ada
dorongan keras mengatasi ketidakadilan ekonomi akibat ulah kelompok usaha-usaha
besar era Orde Baru. Sementara Pemerintah lebih menyukai nama “Undang-Undang
Persaingan Usaha yang Sehat” untuk menekankan tugas Pemerintah menciptakan
iklim usaha yang kondusif bagi semua pihak. Ada banyak terminologi yang
diintroduksi dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini. Sebagian di antaranya dapat dilihat
dalam ketentuan umumnya. Namun, untuk menyamakan persepsi ada beberapa
diantaranya yang perlu dikemukakan.
Pertama, undang-undang ini membedakan istilah
“monopoli” dan “praktek monopoli”. Kata monopoli adalah kata yang
bermakna netral, yaitu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha. Penguasaan demikian tidak harus berarti negatif. Ada
jenis monopoli tertentu yang tidak bisa dihindari demi alasan efisiensi (natural
monopoly) atau karena dilindungi oleh undang-undang (statutory
monopoly). Yang dilarang adalah praktek monopoli, yang oleh
undang-undang ini diartikan sebagai monopoli yang menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Jadi, monopoli bisa berdampak
positif dan bisa negatif. Sayangnya, UU No. 5 Tahun 1999 tidak cukup konsisten
untuk menggunakan pembedaan dua istilah di atas. Hal itu terlihat dari
pemakaian judul Bagian Pertama dari Bab IV tentang Kegiatan yang Dilarang. Di
situ dicantumkan istilah “monopoli” sebagai salah satu jenis kegiatan yang
dilarang, yang seharusnya tertulis “praktek monopoli”.
Kedua, sekalipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 sering diberi nama lain sebagai Undang-Undang Antimonopoli, pada dasarnya
monopoli hanya salah satu jenis kegiatan yang disebut-sebut dalam undang-undang
ini. Di samping ada bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang, juga ada
bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang. Penyebutan UU Antimonopoli—seperti
gagasan DPR saat itu—untuk menyebut UU No. 5 Tahun 1999, dengan demikian,
menjadi kurang tepat. Akan lebih baik jika digunakan istilah UU Larangan
Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Anti Persaingan Curang.
Pendekatan Per Se Illegal dan
Rule of Reason
Pendekatan
per se illegal dan rule of reason adalah konsep klasik dalam
hukum persaingan usaha. Kedua pendekatan ini juga berlaku pada UU No. 5 Tahun
1999, sehingga ada bentuk perjanjian atau kegiatan yang per se, namun
ada juga bentuk perjanjian atau kegiatan yang rule of reason. Secara
sederhana, kedua pendekatan itu dapat disandingkan dengan delik formal dan
delik material. Pada delik formal, unsur-unsur pidananya sudah dianggap lengkap
begitu perbuatannya itu selesai dilakukan, sehingga tidak perlu ada pembuktian
lebih lanjut. Pada delik material, unsur-unsur itu belum lengkap jika syarat
akibat perbuatan itu tidak tercakup di dalamnya. Tindak pidana pembunuhan
(Pasal 338 KUHP) adalah contoh jenis delik material karena akibatnya harus
berupa kehilangan nyawa. Jika belum ada korban yang mati, belum dapat disebut
pembunuhan.
Pada hakikatnya, semua tindakan yang
terlarang secara per se diasumsikan mengandung konsekuensi yang lebih
berat dibandingkan dengan rule of reason. Misalnya, Pasal 5 Ayat (1)
tentang perjanjian penetapan harga: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan
atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.” Pasal ini dimasukkan dalam kategori terlarang secara per
se.
Pendekatan per se dan rule
of reason sebenarnya tidak cukup jelas diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999.
Biasanya indikator yang dipakai adalah ada atau tidaknya anak kalimat dalam
rumusan suatu pasal, yakni jika terdapat kata-kata “…patut diduga…” atau
“…yang dapat mengakibatkan….“ Pasal 5 Ayat (1) di atas tidak
mencantumkan anak kalimat tersebut, sehingga termasuk per se. Lain
halnya dengan Pasal 7 yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar,
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Kata “dapat”
yang digunakan dalam pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1999 sengaja dipakai antara
lain untuk menunjukkan bahwa pelanggaran sudah dinyatakan terjadi jika
perbuatan itu memang berpotensi merusak persaingan. Jadi, dengan kata “dapat”
di sini bisa berarti bahwa akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan (perjanjian
atau kegiatan) tadi tidak perlu eksis terlebih dulu.
Anatomi UU No. 5 Tahun 1999
Terminologi
yang ditampilkan untuk menunjuk kepada bentuk-bentuk perjanjian atau kegiatan
yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini sebenarnya tidak tersusun secara
sistematis. Pengertian suatu istilah seringkali tumpang tindih dengan istilah
lainnya. Kartel untuk mengontrol harga, misalnya, dapat saja berarti sama
dengan penetapan harga (price fixing). Perjanjian tertutup (exclusive
dealing) bisa saja isinya merupakan pemboikotan. Tabel berikut ini akan
membantu kita dalam menyederhanakan pengertian tentang jenis perjanjian dan
kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut. Sifat pendekatan per
se atau rule of reason yang disebutkan pada tiap-tiap bentuk
perjanjian/kegiatan adalah asumsi sementara dengan sekadar melihat pada
indikator rumusan kalimat pasal-pasal yang mengaturnya.
B. AZAS DAN
TUJUAN
Dalam
melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang
terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut:
1. Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
4. Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
C. KEGIATAN
YANG DILARANG
Kegiatan merupakan suatu usaha,
aktivitas, tindakan, atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh
pelaku usaha tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya. Dari Pasal 17 sampai dengan
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat beberapa bentuk kpegiatan
yang dilarang dilakukan pelaku usaha, yaitu:
1. Monopoli
(Pasal 17);
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
1. barang dan
atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;
2. mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama; atau
3. satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monopsoni (Pasal 18);
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
3. Penguasaan
Pasar (Pasal 19);
Pelaku usaha
dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
1)
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2)
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
4.
Dumping
(Pasal 20)
“Pelaku
usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan
jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat”.
5.
Manipulasi Biaya Produksi (Pasal 21);
“Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen
harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat”.
6.
Persekongkolan
Pasal 22: “Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat”.
Pasal 23: “Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal 24: “Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan”.
D. PERJANJIAN
YANG DILARANG
Dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa perjanjian yang dilarang,
sebagai berikut.
1. Oligopoli (Pasal
4)
Adalah
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
Oligopoli bersifat rule of reason.
Contoh : Produksi mie instan yang
dipasarkan di Indonesia, 75% berasal dari kelompok pelaku usaha A, B. Ini
berarti keterikatan pelaku usaha A,B, dan C sudah oligopoli.
2. Penetapan harga (Pasal 5)
Penetapan
harga (price fixing )bersifat per se.
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
antara lain :
1)
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama;
2)
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama;
3) Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar;
4) Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
Contoh penetapan harga : beberapa
perusahaan taksi sepakat bersama-sama menaikkan tarif.
3. Diskriminasi
Harga dan Diskon (Pasal 6 sampai 8)
Pasal 6: “Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.
Pasal 7: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pe1aku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal
8: “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang rnemuat persyaratan bahwa penerima barang
dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang
telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat”. Pembagian
wilayah ini bersifat rule of reason.
Contoh : Perusahaan A hanya menjual
produknya di Jawa Tengah dan perusahaan B di Jawa Timur.
4. Pembagian wilayah (Pasal 9)
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak
sehat. Pembagian
wilayah ini bersifat rule of reason.
Contoh : Perusahaan A hanya menjual
produknya di Jawa Tengah dan perusahaan B di Jawa Timur.
5. Pemboikotan (Pasal 10)
Pelaku usaha
dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Pemboikotan bersifat per se dan rule of reason.
Contoh : Asosiasi produsen rokok
bersepakat dengan asosiasi petani tembakau agar para petani menjual tembakau
mereka kepada produsen rokok anggota asosiasi itu saja.
6.
Kartel (Pasal 11)
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa. Kartel bersifat per se.
Contoh : Beberapa perusahaan semen
sepakat untuk mengurangi produksi selama 2 bulan agar pasokan menipis.
7.
Trust (Pasal 12)
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama
dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan
tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa. Trust bersifat rule of reason.
Contoh : Dua pelaku usaha yang
bersaingan (A dan B) menyatakan penggabungan perusahaan mereka, tapi sebenarnya
A dan B di kelola sebagai dua perusahaan tersendiri.
8.
Oligopsoni (Pasal 13)
Keadaan
dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
Oligopsoni bersifat rule of reason.
Contoh : Perusahaan mie A, B, dan C
bersama-sama berjanji untuk menyerap 75% pasokan terigu nasional.
9.
Integrasi Vertikal (Pasal
14)
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung. Integrasi vertikal bersifat rule of reason.
Contoh : Satu perusahaan di hulu
mengakuisi perusahaan di hilirnya. Akuisisi ini menyebabkan terjadi posisi
dominan, yang kemudian disalahgunakan untuk memenangkan persaingan secara tidak
sehat.
10.
Perjanjian tertutup (Pasal
15)
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada tempat tertentu. Perjanjian tertutup(exclusive dealing) bersifat per se.
Contoh : Perjanjian antara produsen
terigu A danprodusen mie B, bahwa jenis terigu yang dijual kepada B tidak boleh
dijual kepada pelaku usaha dijual kepada pelaku usaha lain.
11.
Perjanjian dengan pihak luar
negeri (Pasal 16)
Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
E. KOMISI PENGAWASAN PERSAINGAN USAHA (KPPU)
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU berkedudukan di Jakarta,
tetapi boleh membuka perwakilan di ibukota provinsi. Organisasi KPPU hanya
terdiri dari anggota dan sekretariat. Jumlah anggota seluruhnya (termasuk
seorang ketua dan seorang wakil) paling sedikit sembilan orang. Keanggotaan
KPPU periode yang pertama (2000–2005) ada 11 orang, dan mereka masih mungkin
dipilih untuk satu periode berikutnya. Kewenangan dan tugas KPPU adalah seperti
tabel berikut ini.
Kewenangan
|
Tugas
|
1.
menerima
laporan dari masyarakat/pelaku usaha;
2.
melakukan
penelitian tentang dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999;
3.
melakukan
penyelidikan atau pemeriksaan;
4.
menyimpulkan
hasil penyelidikan atau pemeriksaan;
5.
memanggil
pelaku usaha yang diduga melanggar;
6.
memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dll.
7.
meminta
bantuan penyidik untuk Huruf e dan f;
8.
meminta
keterangan instansi pemerintah;
9.
mendapatkan,
meneliti, menilai alat bukti;
10. memutuskan dan menetapkan
kerugian;
11. memberitahu putusan ke
pihak-pihak;
12.
menjatuhkan
sanksi administrative
|
menilai
perjanjian di antara pelaku usaha;
menilai
kegiatan pelaku usaha;
menilai
ada tidaknya penyalahgunaan posisi dominan;
memberi
saran pertimbangan atas kebijakan Pemerintah;
menyusun
pedoman dan publikasi;
memberi
laporan kerja secara berkala kepada Presiden dan DPR;
mengambil
tindakan sesuai
|
F. SANKSI DALAM ANTIMONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA
Pasal 36
Undang-Undang Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan
penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada
tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal
yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar Undang-Undang Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam
sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski
KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti
Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai
pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48: (1) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan
Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49: Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan
izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU
Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang
melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
G. POSISI
DOMINAN
Bab V Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 mengatur tentang Posisi Dominan. Undang-undang ini mengartikan posisi
dominan sebagai keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai,
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
Rumusan tersebut menggunakan dua
pendekatan. Pertama, posisi dominan dilihat dari pangsa pasar yang dimiliki
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha terhadap pelaku usaha
saingannya (kriteria struktur pasar). Kedua, adalah dengan melihat kemampuannya
untuk memimpin penentuan harga barang atau jasa sehingga apa yang dilakukannya
menjadi acuan bagi pelaku-pelaku usaha pesaingnya (kriteria perilaku). UU Nomor
5 Tahun 1999 mengkombinasikan penggunaan dua pendekatan ini bersama-sama.
Pasal 25 Ayat (2) menyatakan, satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila
menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Jika ada dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, posisi
dominannya ditentukan dari penguasaan pangsa pasar sebesar 75% atau lebih. Posisi
demikian berpotensi mengakibatkan si pelaku usaha tidak lagi mempunyai pesaing
yang berarti dalam pasar yang bersangkutan.
Namun, posisi dominan tidak serta
merta merupakan pelanggaran. Yang penting, posisi dominan ini tidak
disalahgunakan. Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dinyatakan dalam Pasal
25 Ayat (1) yaitu jika pelaku usaha secara langsung atau tidak langsung:
1.
menetapkan
syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi
konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga
maupun kualitas;
2.
membatasi
pasar dan pengembangan teknologi;
3.
menghambat
pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang
bersangkutan.
Untuk mencegah penyalahgunaan posisi
dominan, undang-undang melarang perbuatan rangkap jabatan sebagai direksi atau
komisaris, pemilikan saham pada beberapa perusahaan barang atau jasa sejenis.
Juga penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan, ikut menjadi perhatian UU
Nomor 5 Tahun 1999 ini. Semua perbuatan yang menuju ke posisi dominan tersebut
wajib memperhatikan akibat-akibatnya terhadap persaingan usaha.
Terlepas dari itu semua, UU Nomor 5 Tahun 1999 membuat
pengecualian-pengecualian. Hal ini diatur dalam Bab IX tentang Ketentuan Umum.
Ada sembilan bentuk pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50, seperti
perjanjian di bidang hak kekayaan intelektual, perjanjian keagenan, perjanjian
untuk tujuan ekspor, kegiatan usaha kecil dan koperasi. Badan-badan usaha milik
negara dan atau badan usaha atau lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah, tetap
dimungkinkan untuk memonopoli barang atau jasa yang menguasai hajat hidup orang
banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, sepanjang hal itu
diatur dengan undang-undang.
1.
SANKSI
UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur
tentang sanksi. Ada tiga jenis sanksi yang di introduksi dalam undang-undang
ini, yaitu tindakan administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan. Komisi
Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) yang lembaganya akan dijelaskan kemudian,
hanya berwenang memberikan sanksi tindakan administratif. Sementara pidana
pokok dan pidana tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain, dalam hal ini
peradilan. Yang dimaksud dengan tindakan administratif adalah:
1. penetapan pembatalan perjanjian;
2. perintah untuk menghentikan
integrasi vertikal;
3. perintah untuk menghentikan kegiatan
yang terbukti menyebabkan praktek monopoli dan anti-persaingan dan/atau
merugikan masyarakat;
4. perintah untuk menghentikan
penyalahgunaan posisi dominan;
5. penetapan pembatalan penggabungan
atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham;
6. penetapan pembayaran ganti rugi;
7. pengenaan denda dari 1 milyar s.d.
25 milyar rupiah
Sekalipun hanya berwenang menjatuhkan
sanksi tindakan administratif, kewenangan KPPU itu bersinggungan dengan semua
pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, semua pelanggaran terhadap UU No. 5
Tahun 1999 dapat dijatuhkan sanksi tindakan administratif.
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Hukum
persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan persaingan usaha. Hukum persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang
Pasal 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Dalam
melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Terdapat beberapa
kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yaitu terdapat dalam Pasal 17--24
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain kegiatan yang dilarang, juga terdapat
perjanjian yang dilarang pelaku usaha yaitu tedapat dalam Pasal 4--16
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
B.
SARAN
Tercapainya tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 masih tergantung pada beberapa faktor, yakni Pertama, kemampuan
undang-undang itu sendiri dalam memberikan sejumlah rambu-rambu sebagai
pengaturannya patut dinilai apakah rambu-rambu tersebut realistis untuk saat
ini untuk menciptakan reformasi dalam hukum bisnis. Kedua, tergantung pada
struktur hukum bisnis yang berlaku di Indonesia pada saat ini. Usaha untuk
mempaduserasikan undang-undang ini dengan berbagai undang-undang yang mengatur
persoalan bisnis di negara kita perlu dilakukan dan memerlukan waktu. Dengan
kata lain, berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini masih harus ditindak
lanjuti dengan usaha reformasi hukum bisnis pada umumnya.
Selain itu dapat terlaksana atau tidaknya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 akan tergantung pada kemauan
dan komitmen pemerintah
untuk melaksanakannya dan harus ada kemauan kuat, bukan kemauan setengah hati.
Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk melakukan penataan kelembagaan yang
memungkinkan dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan menyiapkan
personel yang handal sebagai pendukungnya. Untuk itu diperlukan kajian yang
mendalam dan komprehensif bukan hanya pada materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 saja tetapi juga terhadap semua komponen hukum bisnis yang berhubungan
dengan hal tersebut. Selain itu, pengkajian dan sosialisasi terhadap masyarakat
juga penting dalam mewujudkan terlaksananya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
bagus banget artikelnya bisa utk referensi..trims
posingannya bagus, sampe salah fokus sama tema blognya, kreatif bgt hehe
Terimakasih materinya bagus_Postingannya sangat menarik
The best casino games on Google Play - Dr.MCD
The 문경 출장안마 best 충주 출장샵 casino games on Google Play. A unique mix of slots and 의왕 출장마사지 casino games is 양주 출장샵 offered in a whole range of genres. Here is the 태백 출장안마 best free game
Posting Komentar